Selamat Hari Raya Aidil Adha kepada semua, semoga hari-hari yang di lalui penuh dengan keberkatan dalam keimanan yang teguh.
Definisinya :
Menurut Syaikh ’Abdul ’Azhim Badawi dalam al-Wajîz fî Fiqhis Sunnah (hal. 402), maknanya adalah :
“Haiwan ternak yang disembelih pada hari nahar (kurban) dan hari-hari tasyrik dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.”
Menurut Syaikh ’Abdul ’Azhim Badawi dalam al-Wajîz fî Fiqhis Sunnah (hal. 402), maknanya adalah :
“Haiwan ternak yang disembelih pada hari nahar (kurban) dan hari-hari tasyrik dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.”
Di dalam al-Mausū’ah al-Fiqhîyah, dikatakan :
“Haiwan yang disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada hari nahar dengan syarat-syarat yang khusus. Tidaklah termasuk udhhiyah haiwan yang disembelih tidak untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, seperti hewan sembelihan yang disembelih untuk dijual, atau dimakan, ataupun untuk memuliakan tamu.Dan tidak termasuk udhhiyah pula hewan yang disembelih selain pada hari-hari ini (yaitu hari nahar dan tasyriq) walaupun disembelih dengan tujuan taqorrub kepada Allah Ta'ala.”
Secara bahasa al-Udhhiyah berasal dari kata dhuha yang artinya pagi, dinamakan demikian karena Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa menyembelih hewan
pada waktu dhuha.
Istilah-istilah yang berkaitan
Ada beberapa nama atau istilah yang berkaitan dengan al-Udhhiyah, diantaranya adalah [Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah] :
1. Al-Qurban
Adalah segala sesuatu yang digunakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya, baik dengan sembelihan ataupun selainnya. Al-Qurbân lebih umum daripada al-Udhhiyah.
2. Al-Hadyu
Adalah hewan ternak yang disembelih di tanah haram pada hari nahar pada saat haji tamattu’ atau qirân, atau karena meninggalkan salah satu kewajiban an-Nusuk atau melakukan larangan baik pada saat haji maupun ‘umroh. Kesamaan al-Hadyu dengan Qirân adalah sama-sama berupa penyembelihan hewan ternak pada hari nahar untuk bertaqorrub kepada Allôh Ta’âlâ. Bedanya, al- Hadyu berkaitan dengan Tamattu’ dan Qirân, serta kaffarah karena meninggalkan suatu kewajiban atau melakukan suatu yang terlarang pada saat haji atau umroh, sedangkan al-Udhhiyah tidak.
3. Al-Aqîqoh
Adalah hewan (kambing) yang disembelih sebagai rasa syukur kepada Allôh atas nikmat yang dianugerahkan berupa kelahiran anak, baik laki-laki maupun perempuan.
4. Al-Faro’
Dahulu kaum musyrikin jahiliyah menyembelih hewan dipersembahkan bagi thagut-thaghut mereka, untuk mengharap berkah dan memperbanyak keturunan mereka. Kemudian kaum muslimin datang merubah ini semua dan menyembelih hanya untuk Allôh semata.
5. Al-‘Atiroh
Dahulu kaum musyrikin jahiliyah menyembelih hewan yang dilakukan pada sepuluh hari awal bulan Rajab yang dipersembahkan kepada sesembahan-sesembahan mereka, disebut juga penyembelihan ini dengan ar-Rojabiyah. Kemudian kaum muslimin datang merubah ini semua dan menyembelih hewan ternak hanya untuk Allôh semata tanpa ada kewajiban dan tidak terkait dengan waktu.
Pensyariatan Al-Udhiyyah.
Al-Udhiyah disyariatkan secara ijma’ menurut al-Kitab dan as-Sunnah. Dalil al-Kitab diantaranya adalah, firman Allôh :
“Maka solatlah untuk Rabb-mu dan berkorbanlah.”
(al- Kautsar : 2)
Dikatakan di dalam tafsirnya : “Solatlah kamu pada sholat ‘id dan berkorbanlah.” Diantara dalil sunnah akan disyariatkannya Al-Udhiyah adalah, hadits shahih dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy yang berwarna amlah dan bertanduk, yang beliau sembelih dengan tangan beliau sendiri dengan menyebut nama Allah dan bertakbir lalu meletakkan kaki beliau pada bagian kedua belikatnya.”
Fadhillatus Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dalam Taissirul 'Allam (hal. 535) menjelaskan :
"أملحين maksudnya adalah warna abu-abu yang di dalamnya ada warna putih dan hitam dimana putihnya lebih dominan dibandingkan hitamnya. صفاحهما di dalam “an-Nihayah” dikatakan, sofhatu kulli syai`in artinya adalah wajah dan sisi sampingnya, dan yang di maksud di sini adalah shifahu a’naqiha (tulang belikatnya). "
Kibas atau Domba bertanduk, warna putih dan hitam sekeliling matanya dan juga kakinya adalah kriteria haiwan yang afdhal untuk dijadikan korban.
Hukum al-Udhhîyah
Hukumnya menurut pendapat yang terkuat (rajih) adalah wajib bagi yang memiliki kemampuan, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak mahu berkorban, maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat sholat kami.”
[Sahih Ibnu Majah (no. 2532)].
Segi pengambilan dalil adalah, tatkala Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam melarang orang yang memiliki kemampuan harta namun tidak mau berkurban untuk mendekati tempat sholat, hal ini menunjukkan bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya, seakan-akan tidak ada manfaatnya ia bertaqorrub kepada Allah dengan mengerjakan sholat namun ia meninggalkan kewajiban berkorban.
Dalil lainnya lagi adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Jundub bin Sufyan al-Bajali radhiallahu ‘anhu beliau berkata :
“Saya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada hari nahar bersabda : Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat (‘id) maka hendaklah ia menyembelih hewan lainnya sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih.”
[muttafaq ‘alaihi].
Imam asy-Syaukani di dalam as-Sailul Jarrar (IV:44-45)menyatakan bahwa hadits di atas adalah hadits yang jelas menunjukkan akan wajibnya berkorban, apalagi ketika Nabi memerintahkan untuk mengulangi orang yang berkorban sebelum waktunya.
Namun jumhur ulama menjelaskan bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, sebagaimana diterangkan di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah. Diantara mereka yang berpendapat ini adalah as-Syafi'iyah dan al-Hanabilah, pendapat terkuat dari pendapat Malik dan salah satu riwayat dari Abu Yūsuf. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakr, ‘Umar, Bilal, Abi Mas’ud al-Badri, Suwaid bin Ghoflah,Sa’id bin al Musayyib,‘Atha' , ‘Alqomah, al-Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Mereka beristidlal dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan kalian berkeinginan untuk berkorban, maka janganlah ia menyentuh (mengambil) rambut dan kukunya sedikitpun.”
Sisi pendalilannya adalah ucapan Nabi ( وأراد أحدكم ) “jika kalian berkeinginan” yang menunjukkan hal ini diserahkan kepada kehendak. Apabila berkorban itu wajib, niscaya sabda Nabi akan menjadi :
“Janganlah menyentuh rambutnya sedikitpun sampai berkurban dengannya.”
Diantara dalilnya pula adalah, bahwa Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, tidak berkorban pada satu atau dua tahun, dengan alasan khawatir manusia menganggapnya sebagai suatu kewajiban. Perbuatan kedua orang yang mulia ini menunjukkan bahwa keduanya mengetahui bahwa Rasulullah tidak mewajibkannya, dan tidak pula ada seorang sahabatpun yang menyelisihi hal ini.
Segi pengambilan dalil adalah, tatkala Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam melarang orang yang memiliki kemampuan harta namun tidak mau berkurban untuk mendekati tempat sholat, hal ini menunjukkan bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya, seakan-akan tidak ada manfaatnya ia bertaqorrub kepada Allah dengan mengerjakan sholat namun ia meninggalkan kewajiban berkorban.
Dalil lainnya lagi adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Jundub bin Sufyan al-Bajali radhiallahu ‘anhu beliau berkata :
“Saya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada hari nahar bersabda : Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat (‘id) maka hendaklah ia menyembelih hewan lainnya sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih.”
[muttafaq ‘alaihi].
Imam asy-Syaukani di dalam as-Sailul Jarrar (IV:44-45)menyatakan bahwa hadits di atas adalah hadits yang jelas menunjukkan akan wajibnya berkorban, apalagi ketika Nabi memerintahkan untuk mengulangi orang yang berkorban sebelum waktunya.
Namun jumhur ulama menjelaskan bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, sebagaimana diterangkan di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah. Diantara mereka yang berpendapat ini adalah as-Syafi'iyah dan al-Hanabilah, pendapat terkuat dari pendapat Malik dan salah satu riwayat dari Abu Yūsuf. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakr, ‘Umar, Bilal, Abi Mas’ud al-Badri, Suwaid bin Ghoflah,Sa’id bin al Musayyib,‘Atha' , ‘Alqomah, al-Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Mereka beristidlal dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan kalian berkeinginan untuk berkorban, maka janganlah ia menyentuh (mengambil) rambut dan kukunya sedikitpun.”
Sisi pendalilannya adalah ucapan Nabi ( وأراد أحدكم ) “jika kalian berkeinginan” yang menunjukkan hal ini diserahkan kepada kehendak. Apabila berkorban itu wajib, niscaya sabda Nabi akan menjadi :
“Janganlah menyentuh rambutnya sedikitpun sampai berkurban dengannya.”
Diantara dalilnya pula adalah, bahwa Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, tidak berkorban pada satu atau dua tahun, dengan alasan khawatir manusia menganggapnya sebagai suatu kewajiban. Perbuatan kedua orang yang mulia ini menunjukkan bahwa keduanya mengetahui bahwa Rasulullah tidak mewajibkannya, dan tidak pula ada seorang sahabatpun yang menyelisihi hal ini.
sumber : Osram Ibni Husain
tq gd sharing ni
ReplyDelete